Berita
Video: UMP 2025 Naik 6,5% Menyebabkan Ketegangan Pengusaha
2024-12-06
Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah yang cukup kontroversial dengan memutuskan untuk meningkatkan Upah Minimum Provinsi (UMP) pada tahun 2025 sebanyak 6,5%. Ini tindakan tersebut kemudian menjadi subjek kritikan yang cukup kuat dari berbagai pelaku usaha. Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, Bob Azam, mengungkapkan bahwa keputusan tersebut akan memberikan beban yang cukup berat bagi para pelaku usaha. Kondisi industri saat ini masih menghadapi tekanan yang cukup tinggi, seperti yang terlihat dari PMI Manufaktur yang hingga bulan November 2025 mengalami kontraksi selama 5 bulan berturut-turut, terutama di sektor manufaktur dan PHK yang sudah mencapai jumlah pekerja melebihi 180 ribu.

Mengungkap Dampak Kenaikan UMP 6,5% bagi Pelaku Usaha

Pentingnya Kenaikan UMP

Upah Minimum Provinsi merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam ekonomi. Peningkatan UMP tersebut akan berdampak langsung pada biaya operasional para pelaku usaha. Jika biaya operasional meningkat, maka kemungkinan besar perusahaan akan harus menaikkan harga produk atau jasa mereka. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan permintaan dari konsumen, sehingga berdampak pada pendapatan perusahaan. Selain itu, kenaikan UMP juga akan mempengaruhi keuangan perusahaan secara luas. Para pelaku usaha mungkin akan harus menghemat biaya lain agar tetap dapat bertahan dalam kondisi yang semakin sulit.

Implikasi bagi Industri

Industri manufaktur merupakan sektor yang paling terpengaruh oleh kenaikan UMP ini. Kondisi PMI Manufaktur yang mengalami kontraksi selama 5 bulan berturut-turut menunjukkan bahwa industri ini sedang menghadapi kesulitan. Para produsen mungkin akan harus mengoptimalkan proses produksi agar tetap dapat menghasilkan produk dengan biaya yang lebih rendah. Selain itu, PHK juga sudah mencapai jumlah pekerja melebihi 180 ribu. Ini menunjukkan bahwa banyak orang yang bergantung pada industri ini. Jika industri ini mengalami masalah, maka banyak orang akan terpengaruh secara langsung.

Solusi yang Diharapkan dari Pemerintah

Seiring dengan penetapan UMP 2025, APINDO berharap pemerintah dapat memberikan solusi bagi para pengusaha yang tidak mampu mengimplementasikan kebijakan ini. Solusi yang diharapkan dapat berupa bantuan keuangan, program pelatihan, atau pembentukan kolaborasi antar perusahaan. Dengan solusi-solusi tersebut, para pelaku usaha dapat lebih mudah mengadaptasi dengan kenaikan UMP tersebut dan tetap dapat bertahan dalam kondisi yang semakin sulit.

Dialog dengan Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO

Dalam dialog Shinta Zahara dengan Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, Bob Azam, kita dapat memahami lebih dalam mengenai dampak kenaikan UMP 6,5% bagi pelaku usaha. Bob Azam mengungkapkan bahwa para pelaku usaha perlu lebih berhati-hati dalam mengelola biaya mereka. Mereka perlu mencari cara-cara untuk mengoptimalkan proses produksi dan menghemat biaya tanpa mengorbankan kualitas produk atau jasa. Selain itu, Bob Azam juga mengingatkan para pelaku usaha untuk selalu berhati-hati terhadap perubahan kebijakan pemerintah. Kenaikan UMP hanya salah satu contoh dari perubahan kebijakan yang dapat mempengaruhi bisnis mereka.
Pemerintah Mengenakan PPN 12% pada Mobil Mewah, Pabrikan Buka Suara
2024-12-06
Di Jakarta, CNBC Indonesia telah mengumumkan bahwa pemerintah akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% untuk barang mewah seperti mobil mewah mulai 1 Januari 2025. Hal ini telah mengakibatkan kalangan pabrikan mobil untuk mengangkat bicara.

Perspektif Pabrikan

Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Jongkie Sugiarto, ketika dihubungi oleh CNBC Indonesia, Jumat (6/12/2024), mengatakan, "Kita tunggu peraturannya terbit dulu saja ya." Hingga saat ini, aturan resminya memang belum terbit. Namun ketika ditanya apakah pabrikan setuju dengan kebijakan tersebut, Jongkie tidak berbicara banyak. "Peraturannya kan belum ada, bagaimana mau bilang setuju atau kurang pas?" katanya.

Perbedaan PPN untuk Barang Berbeda

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% hanya berlaku untuk barang mewah seperti mobil, apartemen, dan rumah mewah. "Mobil mewah, apartemen mewah, rumah mewah, yang semuanya serba mewah," ungkap Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (5/12/2024). Sementara itu, untuk barang lainnya masih akan dikenakan pajak 11%. "Barang-barang pokok dan berkaitan dengan pelayanan yang langsung menyentuh kepada masyarakat masih tetap akan diperlakukan pajak yang sekarang yaitu 11%," paparnya.

Implikasi Ekonomi

Pajak PPN 12% untuk barang mewah dapat memiliki dampak yang signifikan pada ekonomi. Misalnya, dapat mempengaruhi harga barang mewah di pasaran. Pabrikan mungkin akan menganggap biaya produksi meningkat karena kenaikan pajak, dan kemudian mungkin akan menaikkan harga produk mereka. Hal ini dapat berdampak pada konsumen, terutama mereka yang memiliki minat terhadap barang mewah. Namun, juga perlu dipertimbangkan bahwa kenaikan pajak ini dapat menjadi sumber pendapatan bagi negara. Negara dapat menggunakan dana ini untuk mengembangkan infrastruktur, pelayanan publik, dan lain-lain.

Perspektif Konsumen

Untuk konsumen, kenaikan PPN 12% untuk barang mewah dapat menjadi masalah. Mereka mungkin akan lebih cermat dalam memilih barang mewah dan mempertimbangkan harga dan kualitas dengan lebih seksama. Namun, bagi mereka yang memiliki minat kuat terhadap barang mewah, mungkin tetap akan membeli meskipun ada kenaikan pajak. Konsumen juga perlu diingatkan untuk selalu mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti kebutuhan dan keuangan sebelum membeli barang mewah.
See More
Aturan PPN 12% untuk Barang Mewah, Bikin Bingung di Administrasi Perpajakan
2024-12-06
Jakarta, CNBC Indonesia - Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sesuai Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menjadi 12% pada 1 Januari 2025 akan hanya diterapkan pada barang-barang mewah. Informasi ini muncul setelah Presiden Prabowo Subianto berhadapan dengan pimpinan DPR, seperti Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar Adies Kadir, hingga Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun di Istana Negara, Jakarta.

Implikasi Administrasi Perpajakan

Bagi kalangan ekonomi dan pakar perpajakan, wacana ini akan membuat administrasi perpajakan semakin rumit. Karena PPN merupakan jenis pajak dengan mekanisme tarif tunggal seperti yang diatur dalam Bab IV Pasal 7 Ayat 1 UU HPP. Berarti perbedaan PPN 12% untuk barang mewah dan PPN 11% untuk barang lainnya merupakan hal baru dalam sejarah. Ini pasti membuat semua pihak bingung. Contohnya, ketika toko ritel menjual barang mewah yang terkena PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), faktur pajaknya akan lebih kompleks. Oleh karena itu, pemerintah harus merinci barang-barang yang masuk kategori mewah dan kena PPN 12% melalui aturan teknis PMK. Namun, perlu diingat bahwa perbedaan tarif per barang perlu mengubah UU HPP karena prinsip single tarif. Konsekuensinya bukan hanya masalah Pasal 7 dalam UU HPP, tetapi juga diperlukan revisi Pasal lain terutama Pasal 4 tentang barang yang dikecualikan karena ada perbedaan tarif baru atau perpindahan ke rezim multitarif. Hanya karena sudah hampir pelaksanaan PPN 12% pada Januari 2025, aturan dibuat mengambang.

Solusi Alternatif

Bahkan daripada menerapkan kebijakan multitarif PPN tersebut, jika pemerintah dan dewan legislatif mengakui bahwa daya beli masyarakat perlu diselamatkan dari amanat UU HPP tentang PPN 12%, lebih baik sepenuhnya UU itu dibatalkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu. Seharusnya kalau ingin memperhatikan daya beli masyarakat, dapat diterbitkan Perpu untuk menghapus pasal 7 di UU HPP tentang PPN 12%. Itu solusi paling baik.

Perspektif dari Pihak Pajak

Pakar pajak yang juga merupakan Co-Founder Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, menyatakan bahwa multitarif PPN sebelumnya tidak dikenal. Salah satu ciri khas PPN adalah tarif tunggal. Jika kebijakan multitarif diterapkan nantinya oleh Prabowo, maka Ditjen Pajak harus mengubah aplikasi faktur pajak bagi para Wajib Pajak yang akan membuat faktur pajak di Coretax melalui aplikasi e-faktur di web laman pajak.go.id. Mulai 2025, aplikasi e-faktur harus bisa menentukan barang mana yang dikenai tarif 11% dan barang mana yang dikenai tarif 12%. Di sisi lain, satu-satunya cara untuk mengidentifikasi barang yang dikenai tarif 12% atau 11% adalah dari kode HS. Itu berarti Wajib Pajak harus mengisi kode HS untuk setiap faktur pajak. Masalahnya, banyak perusahaan di Indonesia tidak familiar dengan kode HS, terutama perusahaan yang tidak berorientasi ekspor atau bahan baku produksinya berasal dari impor. Dengan multitarif, Wajib Pajak yang membuat faktur pajak harus mengisi kode HS. Ini pasti akan menjadi tantangan bagi Ditjen Pajak untuk sosialisasi dan Wajib Pajak untuk pembuatan faktur pajak.
See More