The South Korean currency, the won, has seen a significant drop in value during December 2024. This decline was triggered by a period of political unrest that followed the brief implementation of martial law. According to recent data from the Bank for International Settlements (BIS), the real effective exchange rate (REER) of the won fell to 91.3 at the end of December, marking a decrease of nearly two points from the previous month. The REER measures a currency's strength relative to a basket of other currencies, adjusted for inflation. A figure below 100 indicates depreciation compared to the base year, while above this benchmark suggests appreciation.
This dramatic shift placed South Korea second on the list of 64 BIS-monitored countries, just ahead of Japan, whose REER stood at 71.3. The monthly decline of almost two points was one of the fastest globally, behind only Brazil and Australia. The won's depreciation was the most severe since September 2022, when it experienced a sharp fall due to the Legoland debt crisis, leading to heightened concerns about corporate bond yields and credit availability. Exchange rates reflected this instability, with the won weakening significantly against the U.S. dollar throughout December, starting from approximately 1,370 won per dollar in November and reaching 1,486.7 won by late December.
The turbulence in the foreign exchange market was heavily influenced by political changes brought about by the imposition of martial law. Governor Rhee Chang-yong of the Bank of Korea addressed these issues in a January press conference, noting that the won-dollar exchange rate had risen beyond what economic fundamentals would suggest. He highlighted the impact of the widening interest rate gap with the United States. Despite these challenges, the situation underscores the resilience and adaptability required in global financial markets, emphasizing the importance of stable governance and sound economic policies to maintain currency stability and investor confidence.
Pencemaran mikroplastik telah menjadi perhatian global, terutama ketika partikel plastik kecil ini ditemukan dalam makanan yang kita konsumsi. Menurut laporan dari berbagai sumber termasuk Kementerian Kesehatan Indonesia, mikroplastik berukuran kurang dari lima milimeter dapat menimbulkan berbagai risiko kesehatan bagi manusia. Studi terbaru menunjukkan bahwa sayuran akar seperti lobak dan wortel memiliki potensi tinggi mengandung mikroplastik dibandingkan dengan sayuran berdaun. Para ahli menyarankan untuk lebih memilih makanan segar dan menghindari plastik sekali pakai.
Permasalahan pencemaran mikroplastik semakin mendesak di tengah meningkatnya jumlah limbah plastik di Bumi. Partikel plastik kecil ini tidak hanya mencemari darat dan perairan, tetapi juga meresap ke dalam tanah, mengancam ekosistem dan kesehatan manusia. Dr. Meryl "Mimi" Kallman, seorang ahli klinis dan ilmuwan, menjelaskan bahwa mikroplastik cenderung mengumpul di akar tanaman, membuat sayuran akar seperti lobak dan wortel berpotensi mengandung konsentrasi mikroplastik yang tinggi. Hal ini berbeda dengan sayuran berdaun yang memiliki kadar mikroplastik lebih rendah.
Menurut penelitian yang dipublikasikan oleh Environmental Research pada tahun 2020, buah dan sayuran yang dijual di pasar lokal di Catania, Sisilia, Italia, ditemukan mengandung mikroplastik dan nanoplastik. Sayuran umbi-umbian seperti wortel dan lobak memiliki konsentrasi mikroplastik yang lebih tinggi dibandingkan sayuran berdaun seperti selada dan kol. Peneliti juga menemukan bahwa apel merupakan buah yang paling terkontaminasi mikroplastik.
Konsumsi makanan yang mengandung mikroplastik membawa potensi risiko kesehatan serius. Dr. Mimi menekankan bahwa beberapa penelitian telah menunjukkan hubungan antara mikroplastik dengan inflamasi atau peradangan dan toksisitas. Mikroplastik bahkan telah ditemukan di dalam darah manusia, yang dapat menyebabkan inflamasi. Meski demikian, efek jangka panjang mikroplastik terhadap kesehatan masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Untuk meminimalisir risiko tersebut, Dr. Mimi menyarankan masyarakat untuk mengurangi konsumsi makanan yang dikemas dalam plastik sekali pakai dan beralih ke makanan segar. Dengan langkah-langkah preventif ini, kita dapat membantu melindungi diri dan lingkungan dari ancaman mikroplastik yang terus mengintai.