Dalam masyarakat Bali, tradisi "sing beling sing nganten" mencerminkan konstruksi sosial yang mendalam tentang peran perempuan. Istilah ini secara harfiah berarti "tidak hamil tidak menikah", yang menunjukkan bahwa hubungan seksual sebelum pernikahan diterima sebagai cara untuk menguji kesuburan perempuan. Praktik ini telah menjadi norma sosial yang didukung oleh keluarga dan komunitas, namun juga membawa konsekuensi serius bagi perempuan.
Berdasarkan penelitian dari Youth Voices Research, tradisi ini memungkinkan atau bahkan mendorong hubungan seks pranikah untuk mengevaluasi kesuburan sebelum menikah. Jika perempuan hamil, pasangan tersebut akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Namun, jika tidak hamil, mereka cenderung tidak melanjutkan hubungan. Hal ini menciptakan tekanan besar bagi perempuan untuk memenuhi ekspektasi sosial dan menghindari stigma.
Fenomena "sing beling sing nganten" bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga mencerminkan struktur patriarki yang kuat dalam masyarakat Bali. Melalui budaya semacam ini, masyarakat membentuk peran perempuan sebagai penghasil keturunan bagi keluarga pasangannya. Akibatnya, kebebasan perempuan atas hak seksual dan reproduksinya sering kali dibatasi.
Pendapat ini didukung oleh Anastasia Septya Titisari, peneliti dari Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Menurutnya, budaya "sing beling sing nganten" mencerminkan ketimpangan gender yang signifikan. Melalui praktik ini, masyarakat memberikan tekanan kepada laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan mereka, sementara perempuan sering kali menjadi objek percobaan dan menghadapi stigma jika tidak hamil atau jika hamil di luar nikah.
Perempuan yang tidak kunjung hamil sering kali menghadapi stigma sosial yang signifikan. Stigma ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan emosional perempuan. Mereka mungkin merasa tertekan, tidak berharga, atau bahkan mengalami depresi akibat tekanan sosial yang berkelanjutan.
Sebaliknya, perempuan yang mengalami kehamilan pranikah sering kali berada dalam posisi subordinat dalam masyarakat. Mereka mungkin menghadapi diskriminasi dan marginalisasi, yang dapat membatasi peluang mereka untuk maju dalam kehidupan. Selain itu, kehamilan pranikah juga dapat menyebabkan masalah kesehatan reproduksi yang lebih luas, seperti akses terbatas ke layanan kesehatan dan pendidikan seksual.
Mengubah praktik tradisional seperti "sing beling sing nganten" bukanlah tugas yang mudah. Ini memerlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, tokoh masyarakat, dan organisasi nirlaba untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya hak-hak perempuan dan kesehatan reproduksi. Edukasi dan kampanye publik dapat membantu mengubah persepsi masyarakat tentang peran perempuan dan mengurangi stigma yang melekat pada kehamilan pranikah.
Di samping itu, perlu adanya kebijakan yang mendukung hak-hak perempuan dan melindungi mereka dari diskriminasi. Misalnya, program-program pendidikan seksual yang komprehensif dapat memberikan informasi yang tepat tentang kesehatan reproduksi dan hak-hak seksual. Dengan demikian, perempuan dapat membuat keputusan yang lebih berpendidikan dan berdaya tentang tubuh dan kehidupan mereka sendiri.
Berdasarkan laporan terbaru, masyarakat Korea Selatan menghadapi tantangan serius dalam hal kualitas hidup. Indikator utama yang menunjukkan penurunan ini meliputi kepuasan hidup yang rendah dan tingkat bunuh diri yang meningkat. Menurut data dari Badan Statistik Korea, skor kepuasan hidup warga turun menjadi 6,4 dari 10 pada tahun 2023, menandai penurunan pertama dalam empat tahun terakhir. Angka ini mencerminkan ketidakpuasan yang semakin mendalam di kalangan masyarakat.
Lebih memprihatinkan lagi adalah peningkatan drastis dalam kasus bunuh diri. Pada tahun 2023, jumlah kasus bunuh diri meningkat hingga 27,3 per 100.000 orang, mencapai angka tertinggi dalam sembilan tahun. Pria Korea Selatan memiliki risiko dua kali lebih besar dibandingkan wanita, dengan tingkat bunuh diri pria mencapai 38,3 per 100.000 jiwa. Di sisi lain, kelompok usia 80 tahun ke atas mencatat tingkat bunuh diri tertinggi, yaitu 59,5 per 100.000 jiwa. Faktor-faktor seperti tekanan ekonomi, biaya hidup tinggi, dan jam kerja panjang berkontribusi signifikan terhadap stres yang dialami banyak orang.
Meningkatnya tekanan hidup juga tercermin dalam aspek lain, seperti hubungan keluarga yang melemah dan waktu luang yang berkurang. Kepuasan terhadap hubungan keluarga turun menjadi 63,5% pada tahun 2023, sedangkan indeks kepercayaan antar individu hanya mencapai 52,7%. Biaya pendidikan yang meningkat dan waktu santai yang berkurang menjadi beban tambahan bagi masyarakat. Meskipun ada sedikit kabar baik dengan naiknya tingkat ketenagakerjaan, distribusi manfaatnya belum merata.
Situasi ini menunjukkan bahwa meskipun Korea Selatan dikenal sebagai negara maju, banyak warganya yang tidak merasa bahagia. Hal ini menekankan pentingnya upaya untuk meningkatkan kesejahteraan mental dan sosial masyarakat. Dengan adanya dukungan yang tepat dan program pencegahan yang efektif, harapannya adalah masyarakat dapat merasakan peningkatan kualitas hidup yang lebih baik dan lebih bermakna.
Prestasi baru telah diraih oleh industri perfilman Indonesia melalui film pendek "Little Rebels Cinema Club" yang berhasil memenangkan penghargaan Crystal Bear dalam kategori Best Short Film Generation Kplus Children’s Jury di Festival Film Internasional Berlin 2025. Ini menjadi pencapaian pertama bagi film pendek Indonesia di ajang bergengsi tersebut. Penghargaan ini diberikan oleh juri anak-anak dan menegaskan komitmen Telkomsel melalui MAXStream Studios untuk mendukung sineas muda berbakat. Film ini juga merupakan hasil dari program Secinta Itu Sama Sinema (SISS), sebuah inisiatif yang bertujuan menciptakan ekosistem perfilman inklusif dan berkelanjutan.
Film "Little Rebels Cinema Club" mengisahkan perjalanan seorang bocah bernama Doddy dan sahabatnya yang mencoba mereplikasi adegan film zombie menggunakan handycam tua. Kisah ini berlatar tahun 2008 dan menangkap dinamika persahabatan, kreativitas anak-anak, serta kompleksitas emosi remaja. Produksi film ini didukung penuh oleh MAXStream Studios, rumah produksi yang telah memproduksi 130 judul konten film dan series. Prestasi ini tidak hanya memperkuat posisi film Indonesia di kancah internasional tetapi juga membuka peluang bagi lebih banyak sineas muda untuk berkarya.
Sutradara Khozy Rizal menyampaikan rasa terima kasih kepada MAXStream Studios atas dukungan sejak awal hingga film ini meraih penghargaan Crystal Bear. Film ini menggambarkan harapan dan impian para protagonis muda, dan kesuksesannya di Berlinale menjadi bukti bahwa cerita hangat dan penuh makna dapat diterima dengan baik oleh penonton internasional. Lesley Simpson, Vice President Digital Lifestyle Telkomsel & Produser Eksekutif film ini, juga menyatakan kebanggaannya atas apresiasi internasional yang diterima.
Berhasilnya "Little Rebels Cinema Club" menandai langkah penting bagi industri perfilman Indonesia. Penghargaan ini menjadi inspirasi bagi sineas muda untuk terus berkarya dan mendapatkan pengakuan di tingkat internasional. MAXStream Studios berkomitmen untuk terus mendukung sineas muda agar sinema Indonesia semakin bersinar di kancah global. Dengan prestasi ini, industri perfilman Indonesia semakin diperhitungkan dan memiliki peluang besar untuk berkembang di masa mendatang.