Dalam era digital, penggunaan aplikasi kencan daring telah mengalami peningkatan signifikan. Penelitian menunjukkan bahwa di seluruh dunia, jumlah pengguna aplikasi ini melonjak dari 283,5 juta pada tahun 2019 menjadi lebih dari 366 juta pada tahun 2023. Di Indonesia sendiri, tren serupa terjadi dengan angka pengguna naik dari 3,5 juta di 2019 menjadi 4,6 juta pada 2024. Meskipun aplikasi ini memudahkan pencarian pasangan, studi oleh seorang dosen Universitas Katolik Soegijapranata menemukan tiga risiko besar yang mengancam pengguna perempuan, termasuk penguntitan, pencurian identitas untuk pinjaman online, dan teror mistis.
Pada musim gugur yang berwarna, sebuah penelitian dilakukan oleh tim dari Universitas Katolik Soegijapranata, fokus pada dampak negatif yang dialami lima perempuan generasi Z. Salah satu subjek, seorang mahasiswi berusia 19 tahun, mengalami kecemasan setelah fotonya dicuri dan digunakan sebagai alat ancaman. Ia merasa tidak aman dan akhirnya mengubah semua akunnya menjadi privat.
Seorang wanita lain berusia 20 tahun menceritakan bagaimana pelaku mengetahui detail pribadinya, termasuk alamat rumah dan nomor kendaraan. Kejadian ini menyebabkan depresi dan membutuhkan bantuan psikologis. Sementara itu, seorang gadis 19 tahun yang membagikan alamat kosnya kepada kenalan dari aplikasi tersebut mengaku selalu dikuntit dan merasa terancam.
Perempuan berusia 26 tahun mengalami kerugian finansial ketika informasi pribadinya disalahgunakan untuk mengajukan pinjaman online. Ia kemudian berhenti mengunggah foto wajahnya di aplikasi tersebut. Selain itu, ia juga mengalami gangguan mistis, merasa terkena pelet, dan harus mencari pertolongan spiritual.
Kasus-kasus ini menyoroti pentingnya menjaga privasi di platform digital. Langkah-langkah seperti membatasi unggahan foto pribadi, menghindari pembagian informasi sensitif, bertemu di tempat umum, dan memblokir kontak yang tidak nyaman menjadi penting untuk keselamatan pengguna.
Berdasarkan temuan ini, sangat penting bagi pengguna aplikasi kencan daring untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi bahaya. Pengguna harus bijaksana dalam berinteraksi dan memastikan langkah-langkah keamanan diterapkan untuk menghindari situasi yang tidak menyenangkan atau berbahaya. Kesadaran dan tindakan preventif dapat membantu menjadikan pengalaman menggunakan aplikasi kencan lebih aman dan nyaman.
Dalam masyarakat Bali, tradisi "sing beling sing nganten" mencerminkan konstruksi sosial yang mendalam tentang peran perempuan. Istilah ini secara harfiah berarti "tidak hamil tidak menikah", yang menunjukkan bahwa hubungan seksual sebelum pernikahan diterima sebagai cara untuk menguji kesuburan perempuan. Praktik ini telah menjadi norma sosial yang didukung oleh keluarga dan komunitas, namun juga membawa konsekuensi serius bagi perempuan.
Berdasarkan penelitian dari Youth Voices Research, tradisi ini memungkinkan atau bahkan mendorong hubungan seks pranikah untuk mengevaluasi kesuburan sebelum menikah. Jika perempuan hamil, pasangan tersebut akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Namun, jika tidak hamil, mereka cenderung tidak melanjutkan hubungan. Hal ini menciptakan tekanan besar bagi perempuan untuk memenuhi ekspektasi sosial dan menghindari stigma.
Fenomena "sing beling sing nganten" bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga mencerminkan struktur patriarki yang kuat dalam masyarakat Bali. Melalui budaya semacam ini, masyarakat membentuk peran perempuan sebagai penghasil keturunan bagi keluarga pasangannya. Akibatnya, kebebasan perempuan atas hak seksual dan reproduksinya sering kali dibatasi.
Pendapat ini didukung oleh Anastasia Septya Titisari, peneliti dari Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Menurutnya, budaya "sing beling sing nganten" mencerminkan ketimpangan gender yang signifikan. Melalui praktik ini, masyarakat memberikan tekanan kepada laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan mereka, sementara perempuan sering kali menjadi objek percobaan dan menghadapi stigma jika tidak hamil atau jika hamil di luar nikah.
Perempuan yang tidak kunjung hamil sering kali menghadapi stigma sosial yang signifikan. Stigma ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan emosional perempuan. Mereka mungkin merasa tertekan, tidak berharga, atau bahkan mengalami depresi akibat tekanan sosial yang berkelanjutan.
Sebaliknya, perempuan yang mengalami kehamilan pranikah sering kali berada dalam posisi subordinat dalam masyarakat. Mereka mungkin menghadapi diskriminasi dan marginalisasi, yang dapat membatasi peluang mereka untuk maju dalam kehidupan. Selain itu, kehamilan pranikah juga dapat menyebabkan masalah kesehatan reproduksi yang lebih luas, seperti akses terbatas ke layanan kesehatan dan pendidikan seksual.
Mengubah praktik tradisional seperti "sing beling sing nganten" bukanlah tugas yang mudah. Ini memerlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, tokoh masyarakat, dan organisasi nirlaba untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya hak-hak perempuan dan kesehatan reproduksi. Edukasi dan kampanye publik dapat membantu mengubah persepsi masyarakat tentang peran perempuan dan mengurangi stigma yang melekat pada kehamilan pranikah.
Di samping itu, perlu adanya kebijakan yang mendukung hak-hak perempuan dan melindungi mereka dari diskriminasi. Misalnya, program-program pendidikan seksual yang komprehensif dapat memberikan informasi yang tepat tentang kesehatan reproduksi dan hak-hak seksual. Dengan demikian, perempuan dapat membuat keputusan yang lebih berpendidikan dan berdaya tentang tubuh dan kehidupan mereka sendiri.
Berdasarkan laporan terbaru, masyarakat Korea Selatan menghadapi tantangan serius dalam hal kualitas hidup. Indikator utama yang menunjukkan penurunan ini meliputi kepuasan hidup yang rendah dan tingkat bunuh diri yang meningkat. Menurut data dari Badan Statistik Korea, skor kepuasan hidup warga turun menjadi 6,4 dari 10 pada tahun 2023, menandai penurunan pertama dalam empat tahun terakhir. Angka ini mencerminkan ketidakpuasan yang semakin mendalam di kalangan masyarakat.
Lebih memprihatinkan lagi adalah peningkatan drastis dalam kasus bunuh diri. Pada tahun 2023, jumlah kasus bunuh diri meningkat hingga 27,3 per 100.000 orang, mencapai angka tertinggi dalam sembilan tahun. Pria Korea Selatan memiliki risiko dua kali lebih besar dibandingkan wanita, dengan tingkat bunuh diri pria mencapai 38,3 per 100.000 jiwa. Di sisi lain, kelompok usia 80 tahun ke atas mencatat tingkat bunuh diri tertinggi, yaitu 59,5 per 100.000 jiwa. Faktor-faktor seperti tekanan ekonomi, biaya hidup tinggi, dan jam kerja panjang berkontribusi signifikan terhadap stres yang dialami banyak orang.
Meningkatnya tekanan hidup juga tercermin dalam aspek lain, seperti hubungan keluarga yang melemah dan waktu luang yang berkurang. Kepuasan terhadap hubungan keluarga turun menjadi 63,5% pada tahun 2023, sedangkan indeks kepercayaan antar individu hanya mencapai 52,7%. Biaya pendidikan yang meningkat dan waktu santai yang berkurang menjadi beban tambahan bagi masyarakat. Meskipun ada sedikit kabar baik dengan naiknya tingkat ketenagakerjaan, distribusi manfaatnya belum merata.
Situasi ini menunjukkan bahwa meskipun Korea Selatan dikenal sebagai negara maju, banyak warganya yang tidak merasa bahagia. Hal ini menekankan pentingnya upaya untuk meningkatkan kesejahteraan mental dan sosial masyarakat. Dengan adanya dukungan yang tepat dan program pencegahan yang efektif, harapannya adalah masyarakat dapat merasakan peningkatan kualitas hidup yang lebih baik dan lebih bermakna.