Pasar
Memperkuat Daya Tahan UMKM Melalui Kebijakan Hapus Buku Kredit Macet
2024-11-01
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menegaskan bahwa ketentuan khusus hapus buku dan hapus tagih kredit macet hanya berlaku untuk segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pada bank milik pemerintah. Langkah ini diambil untuk memberikan dukungan dan solusi bagi UMKM yang terdampak pandemi COVID-19. Namun, OJK juga menekankan perlunya kehati-hatian dalam pelaksanaannya untuk menghindari potensi moral hazard.

Memperkuat Daya Tahan UMKM Melalui Kebijakan Hapus Buku Kredit Macet

Menyoal Ketentuan Khusus Hapus Buku Kredit Macet UMKM

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan bahwa isu hapus buku dan hapus tagih kredit macet merupakan isu khusus bagi bank-bank BUMN. Menurutnya, kegiatan tersebut sudah lazim dilakukan oleh bank-bank swasta. Namun, bank-bank BUMN seringkali menghadapi kendala dalam melakukan hal tersebut karena kekhawatiran terlilit masalah hukum.Dalam Undang-Undang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (UU PPSK), disebutkan bahwa hapus buku bank BUMN dan lembaga jasa keuangan non-bank BUMN bukan merupakan kerugian negara, selama dapat dibuktikan tata kelola yang baik. Pemerintah saat ini tengah menyusun peraturan turunan dari UU PPSK tersebut untuk mengatur teknis pelaksanaan hapus buku kredit macet UMKM.

Mencegah Potensi Moral Hazard

Meskipun OJK menegaskan bahwa pencadangan atau CKPN industri perbankan RI sudah mencukupi untuk melaksanakan penghapusan utang, Dian Ediana Rae menekankan perlunya kehati-hatian dalam pelaksanaannya. Ia menyatakan adanya potensi moral hazard yang harus dihindari.Moral hazard adalah risiko di mana seseorang atau entitas mungkin mengambil tindakan yang lebih berisiko karena mereka tidak menanggung sepenuhnya konsekuensi dari tindakan mereka. Dalam konteks hapus buku kredit macet UMKM, OJK khawatir bahwa kebijakan ini dapat mendorong debitur untuk sengaja menunggak pembayaran, dengan harapan kredit mereka akan dihapuskan.Oleh karena itu, OJK menekankan perlunya diskusi lebih lanjut dengan pemerintah untuk memastikan teknis operasional pelaksanaan hapus buku kredit macet UMKM dapat berjalan dengan baik dan menghindari potensi moral hazard.

Memperkuat Daya Tahan UMKM di Tengah Pandemi

Kebijakan hapus buku kredit macet UMKM merupakan langkah strategis OJK untuk memperkuat daya tahan sektor UMKM di tengah pandemi COVID-19. Sektor UMKM telah mengalami dampak yang signifikan akibat pembatasan sosial dan penurunan daya beli masyarakat.Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan dapat memberikan ruang bagi UMKM untuk memulihkan usahanya dan kembali berkontribusi pada perekonomian nasional. Selain itu, langkah ini juga dapat membantu menjaga stabilitas sistem keuangan, mengingat UMKM merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia.Namun, OJK tetap menekankan perlunya kehati-hatian dalam pelaksanaannya untuk menghindari potensi moral hazard. Pemerintah dan OJK akan terus berdiskusi untuk menyusun peraturan turunan yang dapat mengatur teknis pelaksanaan hapus buku kredit macet UMKM secara efektif dan efisien.
Industri Tekstil Nasional Menghadapi Badai Pasca-Pandemi: Strategi Bertahan di Tengah Serbuan Produk Impor
2024-11-02
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia menghadapi tantangan besar pasca-pandemi COVID-19. Serbuan produk impor, baik legal maupun ilegal, disebut sebagai salah satu penyebab utama kehancuran industri ini. Gangguan pasar ekspor dan tekanan daya saing di pasar dalam negeri membuat banyak perusahaan tekstil, termasuk raksasa seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex, mengalami kesulitan keuangan yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan kebangkrutan.

Produk Impor Ilegal Menjadi Ancaman Serius bagi Industri Tekstil Dalam Negeri

Masuknya Produk Impor Ilegal Menjadi Penyebab Utama Kehancuran Industri Tekstil

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia menghadapi tantangan besar pasca-pandemi COVID-19. Salah satu penyebab utama adalah serbuan produk impor, baik legal maupun ilegal, yang membanjiri pasar domestik. Produk-produk impor ini mampu menawarkan harga yang lebih murah, sehingga menjadi daya tarik bagi konsumen. Namun, kehadiran produk impor ilegal yang tidak terkendali telah menjadi bencana bagi industri tekstil dalam negeri.Produk impor ilegal ini tidak hanya menawarkan harga yang lebih rendah, tetapi juga tidak tunduk pada regulasi dan standar kualitas yang berlaku. Hal ini membuat mereka dapat menekan harga jual secara drastis, sehingga sulit bagi produsen lokal untuk bersaing. Akibatnya, banyak perusahaan tekstil dalam negeri yang tidak mampu bertahan dan terpaksa melakukan PHK massal atau bahkan mengalami kebangkrutan.

Gangguan Pasar Ekspor dan Tekanan Daya Saing di Pasar Dalam Negeri

Selain masuknya produk impor ilegal, industri tekstil Indonesia juga menghadapi tantangan lain pasca-pandemi. Gangguan pasar ekspor menjadi salah satu faktor yang turut menyumbang kesulitan keuangan bagi perusahaan-perusahaan tekstil. Penurunan permintaan di pasar global akibat pandemi telah memukul kinerja ekspor industri ini.Di sisi lain, tekanan daya saing di pasar dalam negeri juga menjadi tantangan yang tidak kalah berat. Produk-produk impor, baik legal maupun ilegal, mampu menawarkan harga yang lebih kompetitif dibandingkan dengan produk lokal. Hal ini membuat konsumen lebih memilih produk impor, sehingga menggerus pangsa pasar perusahaan tekstil dalam negeri.

Kebangkrutan Raksasa Tekstil Sritex: Dampak Domino bagi Industri

Salah satu contoh nyata dari dampak krisis yang melanda industri tekstil adalah kasus kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex. Perusahaan tekstil terkemuka ini dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 24 Oktober 2024.Menurut Hamdi Hassyarbaini, Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan BEI 2015-2018, status pailit Sritex berpotensi membuat saham perusahaan ini didelisting dari bursa. Hal ini tentu akan berdampak pada para investor yang telah menanamkan modal di Sritex.Lebih lanjut, Hamdi menyatakan bahwa kondisi Sritex juga dapat memberikan dampak rambatan pada saham-saham lain di sektor yang sama. Investor akan semakin waspada terhadap saham-saham terkait industri tekstil, khawatir mengalami persoalan yang sama dengan Sritex.

Upaya Pemerintah dalam Menyelamatkan Industri Tekstil Nasional

Pemerintah Indonesia telah menyadari ancaman yang dihadapi oleh industri tekstil nasional. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan sektor ini, termasuk memperkuat pengawasan terhadap produk impor ilegal dan memberikan insentif bagi produsen lokal.Salah satu langkah yang diambil adalah meningkatkan koordinasi antara instansi terkait, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Bea Cukai, untuk memperketat pengawasan terhadap produk impor ilegal. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi masuknya barang-barang yang tidak memenuhi standar dan merugikan industri dalam negeri.Selain itu, pemerintah juga telah menyediakan berbagai insentif dan dukungan bagi produsen tekstil lokal, seperti kemudahan akses permodalan, pelatihan, dan pengembangan teknologi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan daya saing industri tekstil dalam negeri sehingga dapat bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat.
See More
Tiga Sosok Penagih Utang Paling Ditakuti di Indonesia: Kisah Kelam di Balik Bisnis Penagihan Utang
2024-11-02
Masyarakat Indonesia semakin akrab dengan kehadiran debt collector atau penyedia jasa penagih utang. Kemudahan akses masyarakat untuk mendapatkan pinjaman, baik melalui jalur legal maupun ilegal, telah menyebabkan bisnis penagihan utang semakin marak. Sayangnya, tidak jarang para debt collector melakukan tindakan yang tidak etis dalam menjalankan profesinya. Bahkan, ada tiga sosok debt collector yang dianggap sebagai yang paling ditakuti di Indonesia.

Awal Mula Kemunculan Tiga Sosok Penagih Utang Paling Ditakuti

Tiga sosok penagih utang yang paling ditakuti di Indonesia adalah John Kei, Hercules, dan Basri Sangaji. Mereka masing-masing memiliki latar belakang yang berbeda, namun memiliki kesamaan dalam hal tidak memiliki keahlian khusus untuk bertahan hidup di Jakarta selain keberanian.John Kei tiba di Jakarta pada tahun 1992, setelah terancam dipenjara oleh polisi di Maluku dan Surabaya. Sementara itu, Basri Sangaji datang ke Jakarta untuk mencoba peruntungannya. Lain halnya dengan Hercules, yang dibawa oleh tentara ke ibukota karena pernah menjadi Tenaga Bantuan Operasi (TBO) Kopassus di Timor Timur.Awalnya, mereka hanya seorang diri, namun perlahan-lahan membentuk kelompok tersendiri yang beranggotakan orang-orang dari kampung halaman masing-masing. Orang-orang yang berasal dari Ambon biasanya bergabung di bawah kelompok John Kei dan Basri Sangaji, sedangkan yang berasal dari Timor bergabung di bawah Hercules.

Bisnis Penagihan Utang yang Semakin Marak

Seiring dengan tumbuhnya sektor keuangan dan perbankan swasta, anggota kelompok pimpinan John Kei, Hercules, dan Basri Sangaji mulai beralih profesi menjadi debt collector atau penagih utang. Hal ini semakin marak ketika terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan banyak bank pailit dan meninggalkan kredit macet.Selain itu, jasa mereka juga digunakan untuk menjaga tanah di Jakarta yang pada saat itu masih semrawut dengan banyaknya kepemilikan ganda. Banyak penduduk yang memanfaatkan jasa dari orang Timur untuk menjaga lahannya.Maraknya penggunaan kelompok mereka oleh perusahaan-perusahaan besar membuat nama ketiganya kian jaya dan kesohor. Sejak saat itulah mereka kemudian dikenal sebagai 'Raja' debt collector di Indonesia.

Persaingan dan Konflik Antar Kelompok

Besarnya nama ketiganya di bisnis penagihan utang juga menciptakan gurita bisnis. Tidak jarang pula ketiganya bersaing untuk memperebutkan wilayah kekuasaan. Geng Hercules pernah terlibat perkelahian dan bentrokan dengan pemerintah, termasuk kelompok dari Geng Basri Sangaji pada tahun 2002. Bahkan, Hercules pernah menjadi tersangka pembunuhan Basri.Begitu pula dengan John Kei, yang juga pernah didakwa pembunuhan. Meski para bosnya sudah tiada dan dipenjara, perselisihan antara kelompok mereka dengan etnis lain berakar kuat. Begitu juga dengan profesi debt collector yang makin identik dengan kelompok dari Indonesia Timur.

Kebesaran Nama Tiga Sosok Penagih Utang Paling Ditakuti

Kebesaran nama John Kei, Hercules, dan Basri Sangaji di bisnis penagihan utang tak tergantikan hingga kini. Saat ini, John Kei sedang berada di balik jeruji besi untuk kesekian kalinya dalam kasus penyerangan terhadap saudaranya di Tangerang. Sementara itu, Hercules dikabarkan telah bertobat dan menjalani hidup sebagai pengusaha biasa.Meskipun para bosnya sudah tidak lagi aktif, namun pengaruh dan reputasi mereka masih sangat kuat di kalangan debt collector di Indonesia. Profesi ini masih identik dengan kelompok-kelompok dari Indonesia Timur, yang dianggap memiliki keberanian dan kekuatan untuk menjalankan bisnis penagihan utang yang seringkali tidak etis.
See More