Banyak pengusaha keturunan Tionghoa di seluruh dunia telah mencapai kesuksesan yang luar biasa. Penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti tradisi Konfusianisme, pengalaman sejarah, dan nilai-nilai budaya memainkan peran penting dalam membentuk mentalitas bisnis mereka. Hasil penelitian dari Harvard Business Review mengungkapkan bahwa 90% dari para pengusaha ini merupakan generasi pertama imigran yang melarikan diri dari China saat perang, dengan banyak di antaranya mengalami berbagai tantangan hidup. Ini telah membentuk karakter mereka menjadi pekerja keras dan ulet. Selain itu, prinsip-prinsip tertentu seperti penghematan, tabungan, dan kepercayaan pada keluarga juga menjadi kunci keberhasilan mereka.
Tradisi Konfusianisme telah mendalam mempengaruhi cara pengusaha keturunan Tionghoa menjalankan bisnisnya. Filosofi ini menekankan harmoni dan saling mengasihi antara individu, yang tercermin dalam pendekatan bisnis mereka. Banyak dari mereka berasal dari latar belakang yang sulit, termasuk dampak dari bencana politik dan ekonomi. Pengalaman tersebut telah membentuk mentalitas bertahan hidup yang kuat, membuat mereka terkenal dengan sifat ulet dan kerja keras. Di masa lalu, petani Tionghoa harus berjuang melawan ancaman alam untuk bertahan, sedangkan imigran menggunakan bisnis sebagai kunci untuk melewati krisis.
Menurut John Kao dari Harvard Business Review, sebanyak 90% pengusaha keturunan Tionghoa adalah generasi pertama imigran yang kabur dari China saat perang. Mereka telah menghadapi berbagai tantangan, termasuk dampak revolusi kebudayaan dan kehilangan rumah atau kekayaan. Mentalitas bertahan hidup ini telah membentuk karakter mereka, mendorong mereka untuk bekerja keras dan cerdas dalam menghadapi berbagai rintangan. Tradisi Konfusianisme yang menekankan harmoni dan hubungan baik antar individu juga sangat berpengaruh dalam membangun jaringan bisnis yang kuat.
Pengusaha keturunan Tionghoa memegang teguh sejumlah prinsip yang membantu mereka sukses dalam dunia bisnis. Prinsip-prinsip ini mencakup penghematan, tabungan, dan kepercayaan pada keluarga. Mereka cenderung berinvestasi dalam aset berwujud seperti real estate dan perkapalan, daripada sekuritas abstrak. Hal ini didasarkan pada kepercayaan bahwa aset berwujud lebih stabil dan dapat dikelola dengan lebih efektif oleh anggota keluarga.
Para pengusaha ini juga mengedepankan pendapat kerabat dalam pengambilan keputusan bisnis, bahkan jika mereka tidak kompeten dalam bidang tersebut. Mereka percaya bahwa keluarga adalah satu-satunya orang yang dapat dipercaya sepenuhnya. Selain itu, prinsip "Lebih baik menjadi kepala ayam daripada ekor sapi besar" sering digunakan, yang berarti mereka lebih memilih menjadi pemimpin dalam bisnis skala kecil daripada menjadi karyawan di perusahaan besar. Pendekatan ini mencerminkan keinginan untuk memiliki kontrol penuh atas bisnis mereka, sejalan dengan nilai-nilai tradisional yang mereka pegang.
In a significant move, the Trump administration has issued an executive order that bolsters financial privacy and innovation while firmly rejecting Central Bank Digital Currencies (CBDCs). The order, titled "Strengthening American Leadership in Digital Financial Technology," outlines a commitment to regulatory clarity, technology-neutral frameworks, and transparent decision-making. This action not only protects individual privacy but also signals a new era for digital assets and blockchain technologies in the United States. The ban on CBDCs within U.S. jurisdiction underscores concerns about financial stability, privacy, and national sovereignty. Meanwhile, the creation of a Senate subcommittee focused on digital assets, chaired by Senator Cynthia Lummis, marks a pivotal step towards responsible innovation and consumer protection.
In a momentous development, the Trump administration has unveiled an executive order that promises to reshape the landscape of digital finance. On this day, the White House released a directive aimed at fostering a vibrant and inclusive digital economy. The document emphasizes the importance of regulatory clarity and transparency, ensuring that emerging technologies like permissionless blockchains and distributed ledger technologies can thrive without undue restrictions. Crucially, the order explicitly prohibits the establishment, issuance, circulation, and use of CBDCs within the United States, citing risks to financial stability, privacy, and national sovereignty.
The global trend toward CBDCs has seen countries like China, Russia, India, Sweden, and the UAE either introduce or explore these digital currencies. However, the U.S. has taken a different path, recognizing the potential dangers of surveillance and control that CBDCs could impose. In contrast, the administration is committed to protecting Americans from these risks, ensuring that financial transactions remain private and free from excessive government oversight.
Simultaneously, the Senate has established a new subcommittee dedicated to digital assets, chaired by Senator Cynthia Lummis. This subcommittee aims to promote responsible innovation and consumer protection while addressing issues like Operation Chokepoint 2.0. Lummis envisions making America the global leader in digital assets and even proposes the creation of a Strategic Bitcoin Reserve, though this idea remains controversial among experts.
From a broader perspective, the executive order reflects a growing awareness of the need to balance technological advancement with safeguarding fundamental rights. By prohibiting CBDCs and fostering a supportive environment for digital assets, the U.S. is positioning itself as a leader in the evolving world of finance.
The implications of this order are profound. It signals a shift away from centralized control over financial systems and towards a more decentralized and privacy-focused approach. For those who value financial freedom and innovation, this represents a significant victory. However, it also raises important questions about the future of monetary policy and the role of digital currencies in shaping economic landscapes. As the U.S. navigates this new terrain, it sets an example for other nations to follow, emphasizing the importance of balancing progress with principles.