Pasar
Industri Tekstil Nasional Menghadapi Badai Pasca-Pandemi: Strategi Bertahan di Tengah Serbuan Produk Impor
2024-11-02
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia menghadapi tantangan besar pasca-pandemi COVID-19. Serbuan produk impor, baik legal maupun ilegal, disebut sebagai salah satu penyebab utama kehancuran industri ini. Gangguan pasar ekspor dan tekanan daya saing di pasar dalam negeri membuat banyak perusahaan tekstil, termasuk raksasa seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex, mengalami kesulitan keuangan yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan kebangkrutan.

Produk Impor Ilegal Menjadi Ancaman Serius bagi Industri Tekstil Dalam Negeri

Masuknya Produk Impor Ilegal Menjadi Penyebab Utama Kehancuran Industri Tekstil

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia menghadapi tantangan besar pasca-pandemi COVID-19. Salah satu penyebab utama adalah serbuan produk impor, baik legal maupun ilegal, yang membanjiri pasar domestik. Produk-produk impor ini mampu menawarkan harga yang lebih murah, sehingga menjadi daya tarik bagi konsumen. Namun, kehadiran produk impor ilegal yang tidak terkendali telah menjadi bencana bagi industri tekstil dalam negeri.Produk impor ilegal ini tidak hanya menawarkan harga yang lebih rendah, tetapi juga tidak tunduk pada regulasi dan standar kualitas yang berlaku. Hal ini membuat mereka dapat menekan harga jual secara drastis, sehingga sulit bagi produsen lokal untuk bersaing. Akibatnya, banyak perusahaan tekstil dalam negeri yang tidak mampu bertahan dan terpaksa melakukan PHK massal atau bahkan mengalami kebangkrutan.

Gangguan Pasar Ekspor dan Tekanan Daya Saing di Pasar Dalam Negeri

Selain masuknya produk impor ilegal, industri tekstil Indonesia juga menghadapi tantangan lain pasca-pandemi. Gangguan pasar ekspor menjadi salah satu faktor yang turut menyumbang kesulitan keuangan bagi perusahaan-perusahaan tekstil. Penurunan permintaan di pasar global akibat pandemi telah memukul kinerja ekspor industri ini.Di sisi lain, tekanan daya saing di pasar dalam negeri juga menjadi tantangan yang tidak kalah berat. Produk-produk impor, baik legal maupun ilegal, mampu menawarkan harga yang lebih kompetitif dibandingkan dengan produk lokal. Hal ini membuat konsumen lebih memilih produk impor, sehingga menggerus pangsa pasar perusahaan tekstil dalam negeri.

Kebangkrutan Raksasa Tekstil Sritex: Dampak Domino bagi Industri

Salah satu contoh nyata dari dampak krisis yang melanda industri tekstil adalah kasus kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex. Perusahaan tekstil terkemuka ini dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 24 Oktober 2024.Menurut Hamdi Hassyarbaini, Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan BEI 2015-2018, status pailit Sritex berpotensi membuat saham perusahaan ini didelisting dari bursa. Hal ini tentu akan berdampak pada para investor yang telah menanamkan modal di Sritex.Lebih lanjut, Hamdi menyatakan bahwa kondisi Sritex juga dapat memberikan dampak rambatan pada saham-saham lain di sektor yang sama. Investor akan semakin waspada terhadap saham-saham terkait industri tekstil, khawatir mengalami persoalan yang sama dengan Sritex.

Upaya Pemerintah dalam Menyelamatkan Industri Tekstil Nasional

Pemerintah Indonesia telah menyadari ancaman yang dihadapi oleh industri tekstil nasional. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelamatkan sektor ini, termasuk memperkuat pengawasan terhadap produk impor ilegal dan memberikan insentif bagi produsen lokal.Salah satu langkah yang diambil adalah meningkatkan koordinasi antara instansi terkait, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Bea Cukai, untuk memperketat pengawasan terhadap produk impor ilegal. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi masuknya barang-barang yang tidak memenuhi standar dan merugikan industri dalam negeri.Selain itu, pemerintah juga telah menyediakan berbagai insentif dan dukungan bagi produsen tekstil lokal, seperti kemudahan akses permodalan, pelatihan, dan pengembangan teknologi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan daya saing industri tekstil dalam negeri sehingga dapat bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat.
Tiga Sosok Penagih Utang Paling Ditakuti di Indonesia: Kisah Kelam di Balik Bisnis Penagihan Utang
2024-11-02
Masyarakat Indonesia semakin akrab dengan kehadiran debt collector atau penyedia jasa penagih utang. Kemudahan akses masyarakat untuk mendapatkan pinjaman, baik melalui jalur legal maupun ilegal, telah menyebabkan bisnis penagihan utang semakin marak. Sayangnya, tidak jarang para debt collector melakukan tindakan yang tidak etis dalam menjalankan profesinya. Bahkan, ada tiga sosok debt collector yang dianggap sebagai yang paling ditakuti di Indonesia.

Awal Mula Kemunculan Tiga Sosok Penagih Utang Paling Ditakuti

Tiga sosok penagih utang yang paling ditakuti di Indonesia adalah John Kei, Hercules, dan Basri Sangaji. Mereka masing-masing memiliki latar belakang yang berbeda, namun memiliki kesamaan dalam hal tidak memiliki keahlian khusus untuk bertahan hidup di Jakarta selain keberanian.John Kei tiba di Jakarta pada tahun 1992, setelah terancam dipenjara oleh polisi di Maluku dan Surabaya. Sementara itu, Basri Sangaji datang ke Jakarta untuk mencoba peruntungannya. Lain halnya dengan Hercules, yang dibawa oleh tentara ke ibukota karena pernah menjadi Tenaga Bantuan Operasi (TBO) Kopassus di Timor Timur.Awalnya, mereka hanya seorang diri, namun perlahan-lahan membentuk kelompok tersendiri yang beranggotakan orang-orang dari kampung halaman masing-masing. Orang-orang yang berasal dari Ambon biasanya bergabung di bawah kelompok John Kei dan Basri Sangaji, sedangkan yang berasal dari Timor bergabung di bawah Hercules.

Bisnis Penagihan Utang yang Semakin Marak

Seiring dengan tumbuhnya sektor keuangan dan perbankan swasta, anggota kelompok pimpinan John Kei, Hercules, dan Basri Sangaji mulai beralih profesi menjadi debt collector atau penagih utang. Hal ini semakin marak ketika terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan banyak bank pailit dan meninggalkan kredit macet.Selain itu, jasa mereka juga digunakan untuk menjaga tanah di Jakarta yang pada saat itu masih semrawut dengan banyaknya kepemilikan ganda. Banyak penduduk yang memanfaatkan jasa dari orang Timur untuk menjaga lahannya.Maraknya penggunaan kelompok mereka oleh perusahaan-perusahaan besar membuat nama ketiganya kian jaya dan kesohor. Sejak saat itulah mereka kemudian dikenal sebagai 'Raja' debt collector di Indonesia.

Persaingan dan Konflik Antar Kelompok

Besarnya nama ketiganya di bisnis penagihan utang juga menciptakan gurita bisnis. Tidak jarang pula ketiganya bersaing untuk memperebutkan wilayah kekuasaan. Geng Hercules pernah terlibat perkelahian dan bentrokan dengan pemerintah, termasuk kelompok dari Geng Basri Sangaji pada tahun 2002. Bahkan, Hercules pernah menjadi tersangka pembunuhan Basri.Begitu pula dengan John Kei, yang juga pernah didakwa pembunuhan. Meski para bosnya sudah tiada dan dipenjara, perselisihan antara kelompok mereka dengan etnis lain berakar kuat. Begitu juga dengan profesi debt collector yang makin identik dengan kelompok dari Indonesia Timur.

Kebesaran Nama Tiga Sosok Penagih Utang Paling Ditakuti

Kebesaran nama John Kei, Hercules, dan Basri Sangaji di bisnis penagihan utang tak tergantikan hingga kini. Saat ini, John Kei sedang berada di balik jeruji besi untuk kesekian kalinya dalam kasus penyerangan terhadap saudaranya di Tangerang. Sementara itu, Hercules dikabarkan telah bertobat dan menjalani hidup sebagai pengusaha biasa.Meskipun para bosnya sudah tidak lagi aktif, namun pengaruh dan reputasi mereka masih sangat kuat di kalangan debt collector di Indonesia. Profesi ini masih identik dengan kelompok-kelompok dari Indonesia Timur, yang dianggap memiliki keberanian dan kekuatan untuk menjalankan bisnis penagihan utang yang seringkali tidak etis.
See More
Prospek Cerah Pasar Keuangan Indonesia hingga Akhir 2024
2024-11-02
Guntur Putra, Chief Executive Officer Pinnacle Investment, menyatakan optimisme yang kuat terhadap kinerja pasar keuangan Indonesia hingga akhir 2024. Dengan keyakinan bahwa The Fed masih berpeluang untuk memangkas suku bunga acuan di November dan Desember, emerging market seperti Indonesia diperkirakan akan diuntungkan dengan aliran modal masuk (capital inflow). Hal ini diharapkan dapat mendorong penguatan nilai tukar Rupiah ke posisi Rp15.400-15.500 per Dolar AS, serta membawa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) untuk menutup tahun 2024 di level 7.800-an dengan yield obligasi 10 tahun di 6,5%.

Optimisme Pasar Keuangan Indonesia Menjelang Akhir 2024

Prospek Kebijakan Moneter The Fed

Pinnacle Investment meyakini bahwa The Fed masih memiliki peluang untuk menurunkan suku bunga acuan pada November dan Desember 2024. Hal ini didasarkan pada perkembangan ekonomi global yang masih menunjukkan tanda-tanda perlambatan, serta inflasi yang belum sepenuhnya terkendali. Dengan kebijakan moneter yang akomodatif dari The Fed, emerging market seperti Indonesia diperkirakan akan menerima aliran modal masuk yang dapat mendorong penguatan nilai tukar Rupiah dan kenaikan harga aset keuangan.

Proyeksi Pergerakan Nilai Tukar Rupiah

Berdasarkan analisis Pinnacle Investment, nilai tukar Rupiah diperkirakan akan kembali menguat ke posisi Rp15.400-15.500 per Dolar AS menjelang akhir 2024. Penguatan ini didukung oleh aliran modal masuk yang diharapkan terjadi akibat kebijakan moneter The Fed yang akomodatif. Selain itu, fundamental ekonomi Indonesia yang tetap solid, serta upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas makroekonomi juga diperkirakan akan menjadi faktor pendukung penguatan Rupiah.

Proyeksi Pergerakan IHSG dan Yield Obligasi 10 Tahun

Pinnacle Investment juga memproyeksikan bahwa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan menutup tahun 2024 di level 7.800-an. Kenaikan ini didorong oleh aliran modal masuk yang diharapkan terjadi, serta sentimen positif terhadap prospek ekonomi Indonesia yang tetap kuat. Sementara itu, yield obligasi 10 tahun diperkirakan akan berada di level 6,5%, sejalan dengan perkembangan suku bunga acuan dan inflasi yang terkendali.

Ekspektasi Pasar terhadap Kebijakan Pemerintahan Baru

Pelaku pasar juga memiliki ekspektasi positif terhadap kebijakan yang akan diambil oleh pemerintahan baru di Indonesia. Harapan utama adalah adanya kebijakan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, menjaga stabilitas makroekonomi, serta menciptakan iklim investasi yang kondusif. Sektor-sektor yang diperkirakan akan diuntungkan antara lain infrastruktur, energi, dan teknologi, seiring dengan fokus pemerintahan baru dalam mengembangkan ekonomi digital dan mendorong transformasi digital di berbagai sektor.

Sektor-sektor yang Diperkirakan Menguntungkan

Berdasarkan analisis Pinnacle Investment, beberapa sektor yang diperkirakan akan diuntungkan dalam periode ini antara lain:1. Sektor Infrastruktur: Dengan fokus pemerintahan baru pada pengembangan infrastruktur, sektor ini diharapkan akan menjadi salah satu penerima manfaat utama, baik dari sisi investasi maupun pertumbuhan.2. Sektor Energi: Upaya pemerintah dalam mendorong transisi energi dan pengembangan energi terbarukan diperkirakan akan memberikan peluang bagi sektor energi untuk tumbuh.3. Sektor Teknologi: Transformasi digital yang menjadi prioritas pemerintahan baru diharapkan akan mendorong pertumbuhan sektor teknologi, termasuk di dalamnya industri e-commerce, fintech, dan solusi digital lainnya.Secara keseluruhan, prospek pasar keuangan Indonesia hingga akhir 2024 tetap cerah, didukung oleh berbagai faktor positif, baik dari sisi kebijakan moneter, fundamental ekonomi, maupun harapan terhadap kebijakan pemerintahan baru. Pelaku pasar optimistis bahwa Indonesia akan mampu memanfaatkan peluang-peluang yang ada untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dan memperkuat posisi sebagai salah satu emerging market yang menarik bagi investor.
See More